Gema adzan subuh sayup-sayup terdengar. Alunan merdu muadzin dari sebuah masjid itu membangunkan sekelompok penghuni sebuah rumah penampungan yang tengah terlelap di ujung fajar.
"Kak bangun, ayo doa," bisik Cila (bukan nama sebenarnya, 11 tahun) yang tengah berusaha membangunkan temannya dari pemondokannya di sebuah perkampungan padat penghuni di Jakarta Barat.
Usaha gadis cilik ini tak sia-sia, satu per satu rekannya terbangun dari tidur lelapnya. Setelah membasuh muka mereka lalu berkumpul untuk berdoa pagi bersama. Kegiatan hari itu di lanjutkan dengan mandi, membersihkan kamar, mempersiapkan buku-buku pelajaran sekolah yang akan mereka bawa.
Gelak tawa lepas dari mulut mereka saat melihat seorang rekan yang kembali tertidur di lantai karena tak kuat menahan kantuk sembari menutupi muka dengan handuk. "Kak Saras emang paling susah kalau di bangunin nih," celetuk Cila sambil terkekeh. Diselingi canda tawa, mereka memulai hari. Cila merupakan satu dari 4 orang anak penghuni penampungan di sebuah yayasan bernama Vina Smart Era.
Ada yang istimewa dari anak-anak ini. Mereka adalah anak-anak yang sempat terbuang, tanpa perhatian dan kerap mengalami diskriminasi karena mereka anak-anak yang terlahir dengan mengidap virus Human Immunodeficiency Virus (HIV), virus yang mereka dapatkan sejak dalam kandungan.
Kebanyakan dari mereka berusia 10-16 tahun dan tidak lagi memiliki orang tua atau yatim piatu. Ibu atau ayah mereka yang merupakan pecandu narkoba jarum suntik telah meninggal karena mengidap HIV/AIDS. Akibat status anak-anak penderita HIV/positif akibat kesalahan orang tua mereka, anak-anak ini terpaksa menanggung beban.
Masa kecil yang seharusnya mereka lewati dengan kebahagian dan ceria terpaksa harus mereka lalui dengan diskriminasi atau cemooh lingkungan. Bahkan dari keluarga mereka sendiri, Seperti yang di alami oleh Farhan (bukan nama sebenarnya) anak berusia 15 tahun yang kini telah yatim piatu. Kedua orang tuanya juga telah meninggal karena mengidap HIV/AIDS.
Bocah berperawakan kurus ini merupakan anak pertama dari tiga bersaudara yang ketiganya mengidap HIV. Seorang adiknya juga berstatus HIV positif. Saat Farhan masih bersama ibunya yang sedang meregang nyawa akibat HIV/AIDS sempat mengalami diskriminasi pihak rumah sakit yang merawatnya. Sampai akhirnya sang ibu tidak bertahan dan akhirnya meninggal.
Tidak sampai di situ, Farhan kecil juga sempat di tolak dan di keluarkan dari sekolah akibat statusnya sebagai penderita HIV positif. Kini berkat bantuan Vina seorang tenaga kesehatan, Farhan bisa melanjutkan pendidikan di sekolah yang baru. Meski begitu, pengalaman pahit akibat diskriminasi masih terus menghantui dan bisa saja terulang.
Dari pengalaman pahit yang membekas, Farhan yang kini duduk di kelas 3 sekolah menengah pertama tersebut bercita-cita ingin menjadi dokter."Mau jadi dokter bedah, biar bisa nolongin orang," ujar bocah kecil berwajah tirus yang pemalu itu kepada gresnews.com yang menemuinya, beberapa waktu lalu.
Kesulitan terbesar dalam usaha merangkul dan membuat anak-anak ini bersemangat menjalani hidup kembali. Adalah membangkitkan rasa percaya diri mereka."Mereka ini tadinya liar, karena tidak ada yang mengurus jadi kerap nongkrong-nongkrong pulang tengah malam, pengobatan mereka pun kerap terabaikan," ujar Asih yang merupakan animator kelompok remaja yayasan tersebut.
Kepada anak-anak ini, Asih memberikan metode pembelajaran yang mengajarkan mereka untuk lebih disiplin dan berani mengungkapkan pendapat. "Mengembalikan rasa percaya diri mereka yang utama. Rasa percaya diri yang hilang akibat diskriminasi karena status mereka,"jelasnya.
Menurutnya, perlakuan diskriminatif itu niscaya justru membuat anak-anak dengan HIV dan keluarganya kian sulit mendapatkan hak-hak mereka sebagai anak-anak. Mereka bahkan bisa membahayakan orang-orang di sekitarnya tanpa disadari. Akibat trauma atas perlakuan yang didapat.
Terlepas dari status anak-anak ini sebagai penderita HIV positif, mereka tetap anak-anak yang memperoleh hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadi dan tingkat kecerdasan sesuai dengan minat dan bakatnya.Sebagaimana di amanatkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Memberikan perhatian, kasih sayang, menjauhkan mereka dari diskriminasi serta membiarkan mereka tumbuh dan mengembangkan potensi yang mereka miliki ibarat menyelamatkan mutiara-mutiara yang terpendam. Sesuai data pada 2015, jumlah anak dengan HIV yang dilaporkan di Indonesia mencapai 3.408 orang, sedangkan jumlah orang dewasa dengan HIV positif adalah 134.042 orang.
Artikel ini dikutip dari Sumber aslinya dengan beberapa penyesuaian foto yang digunakan: (Edy Susanto/Gresnews.com)